Unsur Intrinsik Cerpen Ketika Nina Bukan untuk Nino
Berikut ini Unsur Intrinsik Cerpen "Ketika Nina Bukan untuk Nino"
Lihat juga: Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur Cerpen, Kumpulan Contoh Soal Essay Bahasa Indonesia Kelas 9
Gadis berponi itu bernama Nina, tapi semua orang memanggilnya Ninong alias Nina Nonong. Mungkin karena keningnya yang agak lebar dari yang biasanya. Itulah sebabnya Nina lebih pede dengan rambut poninya tersebut.
Tiba-tiba saja sepeda fixie itu brhenti tepat di sebuah rumah bercat biru. Nina pun segera parkir tepat di depan pagar.
“Nadia...Nadia!!” Hampir lima menit Nina memanggil-manggil nama Nadia, tapi tak ada sahutan sama sekali. Nina semakin penasaran dibuatnya.
Dengan langkah layu. Nina pun kembali melaju di atas sepedanya yang berwarna kuning tersebut. Sekilas tampak Nina menghapus cairan bening yang menetes di sela-sela matanya. Hanya dalam hitungan menit, Nina pun terlihat dengan senyum cerianya lagi.
Bila dilihat sekilas, ada yang aneh dengan sepeda Nina. Ban belakang sepertinya sedikit kurang angin. Namun, dasarnya Nina itu super cuek, maka ia tidak memperdulikan masalah tersebut.
Nina pun sudah sampai di Univesitas Nusantara Muda. Ia segera mnenuju ke sebuah tempat, banyak sekali orang berkerumunan di situ. Di tempat tersebut, ada banyak orang yang kaget melihat kehadiran Nina.
“Hai, kamu sudah berani ke kampus?” ucap Fina, salah seorang teman Nina yang asyik membaca sebuah novel.
“Hebat kamu, Nin. Setelah kejadina memalukan kemarain, kamu sudah berani ke kampus lagi.” Isabel pun ikut nimbrung.
“Fina, Isabel...apapun yang terjadi dengan kemarin, life must goes on kan? Gue emang mungkin bukan buat pemain basket itu, tapi gue yakin kalau gue bakalan bisa dapetin yang lebih baik dari dia.”
Nina terlihat optimis sekali dengan perkataannya.
“Kita buktiin aja deh, Nin...hehehe” Tambah Isabel.
“Oke, your’ll see it soon.”
Mereka bertiga pun segera mempercepat langkah menuju kelas. Maklum siang itu, mereka ada mata kuliah yang cukup penting, bukan karena materinya tapi karena dosennya bening banget, itu kata Isabel beberapa waktu lalu.
Namun, langkah mereka tiba-tiba saja berhenti ketika seorang gadis lewat di depan mereka. Gadis tersebut terlihat angkuh sekali.
“Nadia?” Fina pun kaget, begitu juga dengan Nina dan Isabel.
“Nad!” teriak Nina sambil mencoba untuk mengejar Nadia itu.
“Tunggu, Nin” Isabel pun berhasil menghentian langkah Nina.
“Kita masuk saja, untuk apa peduliin Nadia. Mungkin Pak Ganteng sudah berada di kelas.” Ucap Isabel.
“Pak Ganteng?, buat apa ketemu dia? Najis,” ucap Nina.
“Eits, kenapa bilang najis?, emang kamu mau salat?, hehehe” Fina pun meledek Nina.
“Gue nggak mood buat ketemu dosen killer itu, mukanya aja Miller, tapi hatinya Hitler.” Ucap Nina.
“Biarpun tampan , tapi dia tuh dosen yang lahir tanpa hati. Masa’ gue nggak pernah dapat A untuk mata pelajaran kalkulusnya? Padahal kalian tahu kan, gue itu selain cantik, juga punya otak yng encer” Tukas Nina dan kedua temannya itu pun tertawa.
Tak lama kemudian ketiga gadis manis tersebut pun segera menuju kelasnya. Ternyata benar di kelas sudah ada Pak Haikal, namun ketiga gadis tersebut lebih senang menyebut dosen muda tersebut dengan nama Pak Ganteng.
“Tuh kan, daripada kamu mikirin Nadia, mending lihat tampang Pak Ganteng yang wajahnya mirip Miller.” Ucap Isabel.
“kalian silakan duduk!” Ucap Pak Haikal.
Nina pun segera menuju kursi kesayangannya. Namun ia kembali dikagetkan oleh keberadaan Nadia yang saat itu berada di sebelah kanan Nina.”
“Nina, istirahat nanti...gue mau ngobrol sama lu”
“Ngobrol atau menghina?” jawab Nina
“Ngorol baik-baik tanpa emosi, bisa kan?”
“Bagaimana kalau aku tidak bisa?” Nina pun balik bertanya ke Nadia.
“Nin, kumohon.”
“Harus bisa?, hah, mudah sekali kata-kata itu keluar dari bibir kamu Nad. Kemarin aku harus dipaksa oleh keadaan, aku harus bisa menerima sebuah kenyataan pahit, sekarang kamu minta aku harus bisa ngobrol baik-baik sama kamu? Kamu bisa bicara pakai hati sih sebenarnya?
Mereka saling adu pandang, tentu saja pemandangan tersebut tertangkap oleh Pak Haikal yang saati itu sedang berdiri di depan mereka. Sebagai saksi mata dari sebuah kejadian memalukan yang menimpa Nina beberapa hari lalu, tentu saja pak Haikal cukup tahu apa yang Nina rasa dengan duduk bersebelahan dengan Nadia.
“Oke anak-anak, siang ini saya akan mengumumkan hasil ujian kalian. Buat nama yang saya sebut, silakan menuju ke depan.”
Semua orang terlihat seperti mengikuti audisi pencarian bintang. Namun ketegangan tersebut tidaklah berlangsung lama, terutama ketika Pak Haikal mengambil sebuah kertas dari tas kerjanya.
“Nina, silakan maju.”
Ekspresi Nina pun begitu aneh. Ia seperti ketakutan. Nina benar-benar takut kalau ia akan gagal di ujiannya dua hari kemarin. Dapat nilai C untuk yang kedua kalinya, pasti akan lebih memalukan dari pada sebuah peristiwa memalukan yang menimpanya tiga hari silam.
Dengan tertunduk malu, Nina pun malu ke depan. Ia hanya bisa menundukkan mata sambil terus berzikir, “Jangan C lagi, please...jangan C lagi.”
“Nina selamat...kamu dapat A, nilaimu adalah yang terbaik dari teman-temanmu.”
“Al...Al...Alhamdulillah, benarkah Pak Haikal?” Tanya Nina terkejut bukan main.
“Benar Nin, ini bukan mimpi.”
“Terima kasih Pak.”
“Terima kasih untuk apa Nin?”
“untuk nilai A ini Pak, demi Allah...saya nggak pernah...”
“Sssst...” Pak Haikal memotong perkataan Nina.
“Maaf nggak etis memang kalau kita memotong pembicaraan seseorang. Tapi nilai kamu ini memang sama sekali nggak ada hubungannya dengan saya, Nin. Ini semua berkat perjuanganmu.” Ucap Pak Haikal.
“Anak-anak...”Semua orang yang berada di ruang kelas itu pun diam mendengar Pak Haikal berbicara.
“Kalian adalah saksinya, bagaimana prestasi Nina di kelas ini. Sangat buruk terutama untuk mata kuliah kalkulus. Nina, beri tahu rahasiamu. Bagaimana bisa kamu berubah secepat ini?”
Nina pun diam seribu bahasa. Tiba-tiba air matanya menetes pelan. Namun ia kembali menegakkan kepalanya.
“Kita, kita semua pasti tahu bahwa kehilangan seseorang yang kita sayangi adalah peristiwa tersulit dalam hidup ini. Demi Allah, perasaan seperti itulah yang tiga hari lalu membakar jiwa saya sehingga saya harus menampar sahabat terbaik saya, Nadia. Nad, saya minta maaf karena sudah menamparmu di depan kelas ini tiga hari yang lalu. Saya, saya nggak ngerti kenapa saya harus menampar kamu sekeras itu. Mungkin karena saya belum ikhlas setelah tahu bahwa sahabat terbaikku lah yang mengambil orang yang selama ini paling berarti dalam hidup saya. Saya nangis, saya sempat nangis. Saya bukan orang sekuat Hellen Killer yang bisa bertahan dengan keterbataasannya, karena tanpa Nino saya memang seperti berada di dalam ketidakberdayaan. Namun, bukanlah life must goes on? Selama ini, Nino adalah motivasi saya, tapi bukan berarti tanpa Nino dunia kiamat, kan? Saya yakin, setiap peristiwa pasti ada hikmahnya. Mungkin ini rencana terindah dari Allah, agar saya bisa lebih fokus ke depan. Saya sudah janji sama Isabel dan Fina, bahwa saya akan membuktikan jika saya bisa lebih baik tanpa Nino. Alhamdulillah, saya sudah berhasil membuktikannya.”
Nina pun menghapus air matanya, kemudian dia kembali ke kursinya. Terlihat dengan jelas sekali air mata menetes dari wajah Nadia, orang yang selama ini menjadi teman terbaik Nina.
Menjelang sore, jam kuliah pun sudah habis. Saatnya Nina beserta teman-temannya untuk pulang.
“Gue, udah dijemput Adam, Nin” ucap Isabel.
“Gue juga mau nebeng Kak Adit aja ah, capek naik angkot melulu.” Ucap Fina.
“Gak ada yang mau nemenin gue nih?, Entar kita makan mie ayam deh, hitung-hitung syukuran karena gue udah dapat A.”
“Hehehe...syukuran kan bisa lain kali, lagian sebelum lu datang, gue baru aja makan soto ama Isabel.”Ucap Fina.
“Hahaha, oke...sip. Kalian hati-hati ya, salam buat keluarga kalian.”
“Oke.”
Nina pun segera keluar kelas. Tangga demi tangga ia telusuri, hinga akhirnya ia sampai di ruang parkir. Sesampainya di tempat itu, Nina benar-benar kaget karena sepedanya tidak ada.
“Aduuuh, sepedaku mana?”
Dengan kepanikan tingkat tinggi, Nina pun akhirnya berlari menuju security kampus. Sesampainya di tempat itu, ia terkejut bukan main karena ada seoang pria yang sedang memompa sepedanya.
“Eh, Nina,”
“Pak Haikal?” ucapnya terkejut.
“kenapa?, mau laporin saya karena sudah ngambil sepedamu?. Dasar bodoh, mana bisa kamu pulang ke rumah dengan sepeda tak berangin seperti ini.”
“Hehehe, benar juga ya? Pak Haikal, Bapak tidak malu memompa sepeda saya? Lihat anak-anak itu Pak, mereka memperhatikan Bapak.”
“Hehehe, mungkin karena kaget kali ya, karena saya memompakan sepeda seorang bidadari di kampus ini, hehehe.”
“Hahaha.” Nina hanya bisa tertawa, sepertinya Pak Haikal sedang merayunya.
“Nih, sudah full anginnya.”
“Sekali lagi terima kasih Pak. Saya pamit dulu.” Nina pun segera menaiki sepedanya.
“Eits, dasar bodoh. Emangnya kamu tega biarin orang yang sudah bantuin kamu, jalan kaki?”
Akhirnya, Nina dan Pak Haikal pun berjalan meniti jalan kampus. Pak Haikal menuntun sepeda Nina, keduanya terlihat sangat akrab sekali. Sesekali mereka tertawa bersama-sama. Entah apa yang mereka bicarakan, hanya Tuhan dan kedua orang itu yang tahu.
Sumber cerpen : Buku Menjadi Penulis Kreatif: Ipnu Ritno Nugroho
Unsur Intrinsik :
(Cerpen ; “Ketika Nina Bukan untuk Nino”, Ipnu Ritno)
Tema : Percintaan remaja.
Alur : Alur maju.
Penokohan : Nina : Seorang wanita yang tempramental, labil, tapi cerdas.
Nadia : Sahabat yang tidak setia.
Fina : Sahabat yang setia.
Isabel : Sahabat Nina yang setia.
Pak Haikal : Guru yang baik dan penuh simpati.
Latar : Siang hari di Universitas Nusantara Muda.
Sudut Pandang : Orang ketiga serbatahu.
Pesan : Dari cerpen di atas, kita bisa tahu bahwa di balik
setiap peristiwa pasti akan ada hikmahnya.
Sumber http://basindon.blogspot.com/Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.Lihat juga: Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur Cerpen, Kumpulan Contoh Soal Essay Bahasa Indonesia Kelas 9
“Ketika Nina Bukan untuk Nino”
(Ipnu Ritno Nugroho)
Gadis berponi itu bernama Nina, tapi semua orang memanggilnya Ninong alias Nina Nonong. Mungkin karena keningnya yang agak lebar dari yang biasanya. Itulah sebabnya Nina lebih pede dengan rambut poninya tersebut.
Tiba-tiba saja sepeda fixie itu brhenti tepat di sebuah rumah bercat biru. Nina pun segera parkir tepat di depan pagar.
“Nadia...Nadia!!” Hampir lima menit Nina memanggil-manggil nama Nadia, tapi tak ada sahutan sama sekali. Nina semakin penasaran dibuatnya.
Dengan langkah layu. Nina pun kembali melaju di atas sepedanya yang berwarna kuning tersebut. Sekilas tampak Nina menghapus cairan bening yang menetes di sela-sela matanya. Hanya dalam hitungan menit, Nina pun terlihat dengan senyum cerianya lagi.
Bila dilihat sekilas, ada yang aneh dengan sepeda Nina. Ban belakang sepertinya sedikit kurang angin. Namun, dasarnya Nina itu super cuek, maka ia tidak memperdulikan masalah tersebut.
Nina pun sudah sampai di Univesitas Nusantara Muda. Ia segera mnenuju ke sebuah tempat, banyak sekali orang berkerumunan di situ. Di tempat tersebut, ada banyak orang yang kaget melihat kehadiran Nina.
“Hai, kamu sudah berani ke kampus?” ucap Fina, salah seorang teman Nina yang asyik membaca sebuah novel.
“Hebat kamu, Nin. Setelah kejadina memalukan kemarain, kamu sudah berani ke kampus lagi.” Isabel pun ikut nimbrung.
“Fina, Isabel...apapun yang terjadi dengan kemarin, life must goes on kan? Gue emang mungkin bukan buat pemain basket itu, tapi gue yakin kalau gue bakalan bisa dapetin yang lebih baik dari dia.”
Nina terlihat optimis sekali dengan perkataannya.
“Kita buktiin aja deh, Nin...hehehe” Tambah Isabel.
“Oke, your’ll see it soon.”
Mereka bertiga pun segera mempercepat langkah menuju kelas. Maklum siang itu, mereka ada mata kuliah yang cukup penting, bukan karena materinya tapi karena dosennya bening banget, itu kata Isabel beberapa waktu lalu.
Namun, langkah mereka tiba-tiba saja berhenti ketika seorang gadis lewat di depan mereka. Gadis tersebut terlihat angkuh sekali.
“Nadia?” Fina pun kaget, begitu juga dengan Nina dan Isabel.
“Nad!” teriak Nina sambil mencoba untuk mengejar Nadia itu.
“Tunggu, Nin” Isabel pun berhasil menghentian langkah Nina.
“Kita masuk saja, untuk apa peduliin Nadia. Mungkin Pak Ganteng sudah berada di kelas.” Ucap Isabel.
“Pak Ganteng?, buat apa ketemu dia? Najis,” ucap Nina.
“Eits, kenapa bilang najis?, emang kamu mau salat?, hehehe” Fina pun meledek Nina.
“Gue nggak mood buat ketemu dosen killer itu, mukanya aja Miller, tapi hatinya Hitler.” Ucap Nina.
“Biarpun tampan , tapi dia tuh dosen yang lahir tanpa hati. Masa’ gue nggak pernah dapat A untuk mata pelajaran kalkulusnya? Padahal kalian tahu kan, gue itu selain cantik, juga punya otak yng encer” Tukas Nina dan kedua temannya itu pun tertawa.
Tak lama kemudian ketiga gadis manis tersebut pun segera menuju kelasnya. Ternyata benar di kelas sudah ada Pak Haikal, namun ketiga gadis tersebut lebih senang menyebut dosen muda tersebut dengan nama Pak Ganteng.
“Tuh kan, daripada kamu mikirin Nadia, mending lihat tampang Pak Ganteng yang wajahnya mirip Miller.” Ucap Isabel.
“kalian silakan duduk!” Ucap Pak Haikal.
Nina pun segera menuju kursi kesayangannya. Namun ia kembali dikagetkan oleh keberadaan Nadia yang saat itu berada di sebelah kanan Nina.”
“Nina, istirahat nanti...gue mau ngobrol sama lu”
“Ngobrol atau menghina?” jawab Nina
“Ngorol baik-baik tanpa emosi, bisa kan?”
“Bagaimana kalau aku tidak bisa?” Nina pun balik bertanya ke Nadia.
“Nin, kumohon.”
“Harus bisa?, hah, mudah sekali kata-kata itu keluar dari bibir kamu Nad. Kemarin aku harus dipaksa oleh keadaan, aku harus bisa menerima sebuah kenyataan pahit, sekarang kamu minta aku harus bisa ngobrol baik-baik sama kamu? Kamu bisa bicara pakai hati sih sebenarnya?
Mereka saling adu pandang, tentu saja pemandangan tersebut tertangkap oleh Pak Haikal yang saati itu sedang berdiri di depan mereka. Sebagai saksi mata dari sebuah kejadian memalukan yang menimpa Nina beberapa hari lalu, tentu saja pak Haikal cukup tahu apa yang Nina rasa dengan duduk bersebelahan dengan Nadia.
“Oke anak-anak, siang ini saya akan mengumumkan hasil ujian kalian. Buat nama yang saya sebut, silakan menuju ke depan.”
Semua orang terlihat seperti mengikuti audisi pencarian bintang. Namun ketegangan tersebut tidaklah berlangsung lama, terutama ketika Pak Haikal mengambil sebuah kertas dari tas kerjanya.
“Nina, silakan maju.”
Ekspresi Nina pun begitu aneh. Ia seperti ketakutan. Nina benar-benar takut kalau ia akan gagal di ujiannya dua hari kemarin. Dapat nilai C untuk yang kedua kalinya, pasti akan lebih memalukan dari pada sebuah peristiwa memalukan yang menimpanya tiga hari silam.
Dengan tertunduk malu, Nina pun malu ke depan. Ia hanya bisa menundukkan mata sambil terus berzikir, “Jangan C lagi, please...jangan C lagi.”
“Nina selamat...kamu dapat A, nilaimu adalah yang terbaik dari teman-temanmu.”
“Al...Al...Alhamdulillah, benarkah Pak Haikal?” Tanya Nina terkejut bukan main.
“Benar Nin, ini bukan mimpi.”
“Terima kasih Pak.”
“Terima kasih untuk apa Nin?”
“untuk nilai A ini Pak, demi Allah...saya nggak pernah...”
“Sssst...” Pak Haikal memotong perkataan Nina.
“Maaf nggak etis memang kalau kita memotong pembicaraan seseorang. Tapi nilai kamu ini memang sama sekali nggak ada hubungannya dengan saya, Nin. Ini semua berkat perjuanganmu.” Ucap Pak Haikal.
“Anak-anak...”Semua orang yang berada di ruang kelas itu pun diam mendengar Pak Haikal berbicara.
“Kalian adalah saksinya, bagaimana prestasi Nina di kelas ini. Sangat buruk terutama untuk mata kuliah kalkulus. Nina, beri tahu rahasiamu. Bagaimana bisa kamu berubah secepat ini?”
Nina pun diam seribu bahasa. Tiba-tiba air matanya menetes pelan. Namun ia kembali menegakkan kepalanya.
“Kita, kita semua pasti tahu bahwa kehilangan seseorang yang kita sayangi adalah peristiwa tersulit dalam hidup ini. Demi Allah, perasaan seperti itulah yang tiga hari lalu membakar jiwa saya sehingga saya harus menampar sahabat terbaik saya, Nadia. Nad, saya minta maaf karena sudah menamparmu di depan kelas ini tiga hari yang lalu. Saya, saya nggak ngerti kenapa saya harus menampar kamu sekeras itu. Mungkin karena saya belum ikhlas setelah tahu bahwa sahabat terbaikku lah yang mengambil orang yang selama ini paling berarti dalam hidup saya. Saya nangis, saya sempat nangis. Saya bukan orang sekuat Hellen Killer yang bisa bertahan dengan keterbataasannya, karena tanpa Nino saya memang seperti berada di dalam ketidakberdayaan. Namun, bukanlah life must goes on? Selama ini, Nino adalah motivasi saya, tapi bukan berarti tanpa Nino dunia kiamat, kan? Saya yakin, setiap peristiwa pasti ada hikmahnya. Mungkin ini rencana terindah dari Allah, agar saya bisa lebih fokus ke depan. Saya sudah janji sama Isabel dan Fina, bahwa saya akan membuktikan jika saya bisa lebih baik tanpa Nino. Alhamdulillah, saya sudah berhasil membuktikannya.”
Nina pun menghapus air matanya, kemudian dia kembali ke kursinya. Terlihat dengan jelas sekali air mata menetes dari wajah Nadia, orang yang selama ini menjadi teman terbaik Nina.
Menjelang sore, jam kuliah pun sudah habis. Saatnya Nina beserta teman-temannya untuk pulang.
“Gue, udah dijemput Adam, Nin” ucap Isabel.
“Gue juga mau nebeng Kak Adit aja ah, capek naik angkot melulu.” Ucap Fina.
“Gak ada yang mau nemenin gue nih?, Entar kita makan mie ayam deh, hitung-hitung syukuran karena gue udah dapat A.”
“Hehehe...syukuran kan bisa lain kali, lagian sebelum lu datang, gue baru aja makan soto ama Isabel.”Ucap Fina.
“Hahaha, oke...sip. Kalian hati-hati ya, salam buat keluarga kalian.”
“Oke.”
Nina pun segera keluar kelas. Tangga demi tangga ia telusuri, hinga akhirnya ia sampai di ruang parkir. Sesampainya di tempat itu, Nina benar-benar kaget karena sepedanya tidak ada.
“Aduuuh, sepedaku mana?”
Dengan kepanikan tingkat tinggi, Nina pun akhirnya berlari menuju security kampus. Sesampainya di tempat itu, ia terkejut bukan main karena ada seoang pria yang sedang memompa sepedanya.
“Eh, Nina,”
“Pak Haikal?” ucapnya terkejut.
“kenapa?, mau laporin saya karena sudah ngambil sepedamu?. Dasar bodoh, mana bisa kamu pulang ke rumah dengan sepeda tak berangin seperti ini.”
“Hehehe, benar juga ya? Pak Haikal, Bapak tidak malu memompa sepeda saya? Lihat anak-anak itu Pak, mereka memperhatikan Bapak.”
“Hehehe, mungkin karena kaget kali ya, karena saya memompakan sepeda seorang bidadari di kampus ini, hehehe.”
“Hahaha.” Nina hanya bisa tertawa, sepertinya Pak Haikal sedang merayunya.
“Nih, sudah full anginnya.”
“Sekali lagi terima kasih Pak. Saya pamit dulu.” Nina pun segera menaiki sepedanya.
“Eits, dasar bodoh. Emangnya kamu tega biarin orang yang sudah bantuin kamu, jalan kaki?”
Akhirnya, Nina dan Pak Haikal pun berjalan meniti jalan kampus. Pak Haikal menuntun sepeda Nina, keduanya terlihat sangat akrab sekali. Sesekali mereka tertawa bersama-sama. Entah apa yang mereka bicarakan, hanya Tuhan dan kedua orang itu yang tahu.
Sumber cerpen : Buku Menjadi Penulis Kreatif: Ipnu Ritno Nugroho
Unsur Intrinsik :
(Cerpen ; “Ketika Nina Bukan untuk Nino”, Ipnu Ritno)
Tema : Percintaan remaja.
Alur : Alur maju.
Penokohan : Nina : Seorang wanita yang tempramental, labil, tapi cerdas.
Nadia : Sahabat yang tidak setia.
Fina : Sahabat yang setia.
Isabel : Sahabat Nina yang setia.
Pak Haikal : Guru yang baik dan penuh simpati.
Latar : Siang hari di Universitas Nusantara Muda.
Sudut Pandang : Orang ketiga serbatahu.
Pesan : Dari cerpen di atas, kita bisa tahu bahwa di balik
setiap peristiwa pasti akan ada hikmahnya.
Posting Komentar untuk "Unsur Intrinsik Cerpen Ketika Nina Bukan untuk Nino"